Selamat Datang Di "Storya Tube" Semoga Website Ini dapat Bermanfaat Untuk Anda

Ini adalah website Jurnalis kami

Dapatkan Informasi Menarik Di website ini

Ilmu

Ilmu adalah harta yang sangat berharga, maka carilah Ilmu Sebanyak-banyaknya.

Info Sinopsis Film

Ini adalah Kumpulan Dari Sinopsis Terbaik Di Dunia.

My-Video

Video merupakan rangkaian cerita berjalan, dengan adanya video memungkinkan kita berinteraksi dengan orang diseluruh dunia dengan mudah.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday, August 29, 2016

komunikasi politik bab "Signifikansi Komunikasi Politik"

PEMBAHASAN

1.      Signifikansi Komunikasi Politik
2.      Fokus Kajian Komunikasi Politik
3.      Pengertian Komunikasi Politik
4.      Sejarah Komunikasi Politik
5.      Metode Komunikasi Politik

Kenapa Mempelajari Komunikasi Politik (Kompol)
Setiap kajian keilmuan tidak bisa mengabaikan signifkansi (arti pentng) dari untuk apa disiplin ilmu yang bersangkutan diajarkan kepada umat manusia, khususnya mahasiswa, karena melalui bahasan (kupasan) signifikansi dari setiap kajian tersebut manusia (pengkaji) dapat menarik sebuah pemahaman apakah ilmu yang bersangkutan benar-benar mempunyai signifikansi atau tidak, seperti ilmu biologi yang mempelajari anatomi tubuh manusia dan disiplin-disiplin ilmu yang lainnya. Demikian juga dengan komunikasi politik.
 Artinya, ilmu komunikasi, khususnya komunikasi politik signifikan (berarti) untuk dipelajari, terutama oleh mereka-mereka yang consens (sangat peduli) dengan kajian proses komunikasi politik agar menjadikan setiap proses politik yang terjadi pada satu kurun tertentu dan pada sebuah Negara tertentu, benar-benar menjadikan setiap komponen, terutama sasaran komunikasi politik (rakyat), menjadi lebih baik, lebih bahagia dan sejahtera dalam artian yang sebenarnya.
Diantara faktor penting dan berartinya untuk mempelajari komunikasi politik, terutama bagi mahasiswa, pengamat komunikasi dan konsultan, tersebut adalah:

1.  Faktor Sejarah
Tidak bisa dimungkiri bahwa ilmu komunikasi lahir (ada) disebabkan oleh peran yang dimainkan oleh para pelaku politik. Lihat saja, diantara bapak pendiri, the founding father, ilmu komunikasi terdapat tokoh politik yang sangat terkenal, yaitu Harold D. Lasswell. Lasswell memanfaatkan komunikasi untuk kepentingan politik guna menggerakan actor politik secara khusus dan masyarakat secara umum agar peduli dan berjuang untuk kepentingan bangsa dan negaranya.
Para ahli politik menggunakan komunikasi dalam segala sisinya untuk kepentingan politik. Apakah itu ketika sedang berlangsung perang dunia kedua, ataupun pada masa-masa damai. Ketika masa perangnya misalnya, para pakar politik menggunakan komunikasi untuk memotivasi pasukan (prajurit) untuk berjuang secara kesatria, pantang mundur, pandang menyerah demi bangsa dan Negara, dan diberi symbol sebagai pahlawan (wira) dan symbol-simbol yang menyenangkan dan menjanjikan lainnya.

2. Faktor Kondisi Kekinian
Akhir-akhir ini, terutama pada abad komunikasi dan informasi (lebih akrab dengan istilah ICT; Information communication and technology ) terdapat sebuah kecenderungan, khususnya yang melanda generasi muda, yang memperlakukan komunikasi politik sebagai sebuah disiplin ilmu yang harus dijauhi. Mereka alergi terhadap komunikasi politik, karena menurut pemahaman mereka komunikasi politik tidak jauh berbeda dengan politik, khususnya peraktek politik yang cenderung menghalalkan segala cara (Maciafili), politik itu kotor dan segala terminology (istilah) yang tidak bersahabat lainnya.
Untuk itu harus dijauhi, jika tidak orang (pelaku) komunikasi (komunikator) tidak jauh bedanya dengan para pelaku politik, politisi. Bila ini yang terjadi, komunikasi yang pada awalnya berpihak kepada rakyat, yang terjadi malah sebaliknya, yaitu mensengsarakan rakyat. Alih-alih memperjuangkan aspirasi rakyat, yang terjadi justru sebaliknya mereka semakin kaya dan berpoya-poya sedangkan rakyat semakin menderita dan sengsara.
Politik kedepan tidak lagi semata-mata ditentukan oleh posisi seseorang pada sebuah lembaga politik, seperti ketua umum Partai, anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah (DPR/D), dan lain sebagainya, melain juga oleh faktor, apakah pelaku politik mempunyai sumber ekonomi yang cukup signifikan (langsung ataupun tidak langsung) dalam proses mendapatkan dukungan dari rakyat, dipilih menjadi anggota eksekutif, legislatif ataupun yudikatif, jika tidak mimpi hanya akan menjadi mimpi dan tidak akan pernah menjadi sebuah kenyataan.

3. Faktor Manfaat Praktis dan Pragmatis 
Setiap kajian keilmuan, selain mengandung unsur pengembangan wawasan keintelektualan, juga dapat digunakan untuk kepentingan praktis pargmatis, seperti bagaimana menjadi seorang pelayan yang baik (excellence servicer) pada kajian ilmu marketing (pemasaran) dan cara membangun hubungan yang baik dan saling menguntungkan pada kajian Public Relations atau disebut juga dengan Hubungan Masyarakat (Humas).
Demikian juga halnya dengan ilmu komunikasi politik, dimana ilmu ini dapat digunakan dalam hal bagaimana cara mempengaruhi masyarakat sasaran atau pemilih secara khusus dalam konteks untuk mendapatkan dukungan dari rakyat dan keberlangsungan masa depan partai pada masa-masa atau proses pemilihan umum priode berikutnya.

4. memainkan peranan vital – crucial  role – terhadap apa yang dilakukan oleh politisi.
Kompol penting agar dapat (jadi) dipilih dalam posisi yang dipercaya oleh public. Pertama di kantor, petugas public berkomunikasi satu sama lain tentang persoalan komunitasnya. Mereka juga berkomunikasi dengan penduduk; mereka menghimpun kita untuk mendukung tindakan tertentu, mereka memberi info kita tentang kegiatan pemerintah dan alasan dibalik kegiatan itu dilakukan, dan mereka menolong kita untuk memahami kompleksitas pertanyaan dan solusi public policy (kebijakan public). Pejabat yang dipilih kadang-kadang juga berkomunikasi dengan cara yang tidak kentara tentang siapa mereka atau apa yang pemerintah lakukan, tanpa menyadari bahwa mereka sedang mengirim pesan.
Komunikasi politik memainkan peranan vital – crucial  role – terhadap apa yang dilakukan oleh politisi. Kompol penting agar dapat (jadi) dipilih dalam posisi yang dipercaya oleh public. Pertama di kantor, petugas public berkomunikasi satu sama lain tentang persoalan komunitasnya. Mereka juga berkomunikasi dengan penduduk; mereka menghimpun kita untuk mendukung tindakan tertentu, mereka memberi info kita tentang kegiatan pemerintah dan alasan dibalik kegiatan itu dilakukan, dan mereka menolong kita untuk memahami kompleksitas pertanyaan dan solusi public policy (kebijakan public). Pejabat yang dipilih kadang-kadang juga berkomunikasi dengan cara yang tidak kentara tentang siapa mereka atau apa yang pemerintah lakukan, tanpa menyadari bahwa mereka sedang mengirim pesan.
Pada saat yang sama, public tidak hanya duduk dan menerima pesan politik dari komunikator politik, minimal dalam masyarakat yang demokratis. Penduduk membaca surat kabar (koran); kita menonton berita televisi; kita mengunjungi warnet. Kita mendiskusikan berbagai isu – discussion about many issues - dengan teman dan tetangga kita, dan kita berbagi opini tentang public problems (masalah public) dengan orang yang mempunyai (menempati) posisi tanggungjawab (pengambil keputusan/kebijakan) – decision makers -. Secara berkala (priodik) kita mengekspresikan pandangan kita pada kotak pemilihan ketika memilih seorang kandidat atau yang lain. Semua aktivitas ini merupakan bagian vital dari komunikasi dua arah – two communication - antara yang memerintah dengan yang diperintah – government and society.
 Apa yang dilakukan oleh yang mengurus (manajemen) tersebut adalah komunikasi politik; apa yang kita (yang diurus) lakukan juga komunikasi politik. Dengan mengikut sertakan diri dalam proses ini – yang memerintah dan yang diperintah – secara langsung mengurus komunitas di mana kita tinggal. Komunikasi politik ini vital; kehidupan politik kita sebagai penduduk tergantung kepada komunikasi politik yang dilakukan.


Fokus Kajian Kompol

Agar tidak timbul kebingungan dalam proses memahami sebuah kajian keilmuan, termasuk dalam hal ini kajian yang berkenaan dengan komunikasi politik, maka para ahli berpendapat agar setiap kajian memiliki fokus kajiannya. Hal ini sangat penting agar sebuah disiplin ilmu tidak bercampur- baur, campur aduk dan sangat sulit membedakan antara satu kajian dengan kajian ilmu yang lainnya. Selain itu juga untuk menghindari agar sebuah disiplin ilmu tertentu tidak dikelompokkan atau dijadikan bagian dari ilmu yang lainnya.
Berdasarkan pemikiran di atas, yaitu kajian sebuah ilmu agar fokus pada apa yang menjadi objek kajiannya, maka kajian komunikasi politik memfokuskan diri dan difokuskan pada dimensi “Proses penyampaian atau pertukaran pesan dalam konteks politik”. Artinya, kajian komunikasi politik dikonsentrasikan atau ditujukan pada proses penyampaian atau pertukaran pesan yang terjadi pada institusi atau lembaga yang mempunyai pengaruh – implikasi – dampak – politik.
Dengan demikian berarti bahwa kajian komunikasi politik (Kompol) difokuskan (ditujukan) pada proses penyampaian atau pertukaran pesan yang terjadi pada lembaga (dilakukan oleh individu ataupun lembaga, atas nama individu mahupun lembaga) yang mempunyai pengaruh dan menentukan proses politik, apakah itu dalam bentuk partai politik, lembaga pemerintahan, ataupun sosial kemasyarakatan seperti yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak atau menjalankan aktivitas, kegiatan politik ataupun yang lainnya (seperti lembaga yudikatif atau peradilan).
Fokus atau ruang lingkup kajian Komunikasi Politik secara garis besarnya berkenaan
Dengan kajian seputar Unsur-unsur dari Komunikasi Politik (Dan Nimo) atau Who says what to whom, with channel with what effect (Harold D. Lasswell, 1927) ataupun study of the mea due to its centrality to the process of the dissemination of political views, information and knowledge (Darren G. Lilleker, 2006)

Pengertian Komunikasi Politik

Cangara, H (2009) mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan komunikasi politik ialah suatu bidang atau disiplin keilmuan yang bertujuan untuk menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik, mempunyai efek politik, atau mempengaruhi perilaku politik (contoh voter behavior)
McQuail (dalam Pawito, 2009: 2), mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan komunikasi politik ialah semua proses penyampaian informasi – termasuk fakta -, pendapat, keyakinan, dan seterusnya pertukaran dan pencarian tentang itu semua yang dilakukan oleh para partisipan dalam konteks kegiatan politik yang lebih bersifat melembaga
Krans dan Davis (dalam Susanto, 2009: 4) menyatakan bahwa komunikasi politik sebagai proses komunikasi masa, termasuk KAP dan elemen-elemen di dalamnya, yang mungkin mempunyai dampak terhadap perilaku politik
Brian McNair berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan komunikasi politik ialah aktivitas komunikasi tentang politik yang sarat tujuan. Aktivitas yang dimaksud tidak hanya berbentuk komunikasi lisandan tulisan, tetapi juga melibatkan simbol-simbol non verbal, seperti pakaian, rias wajah, gaya rambut, desain logo, dsbnya.
Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication, are performed by means of communication.”
Political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system
(Meadow, 1980).

komunikasi politik merupakan salah satu dari fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa –“penggabungan kepentingan” (“interest aggregation”) dan “perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy. (Miriam Budiardjo).

Sejarah dan Metode Komunikasi Politik

Political communication is as old as political activity; it was a feature of ancient (kuno) Greece and the Roman Empire as well as across diverse political systems in the modern age.
It is hard to think of a time, under any political system, where political leaders have not had arequirement (keperluan) to communicate with other groups in society, or have not had to persuade the people to support them, often as opposed to rivals for their power and position.
However, for much of human history political communication would have been a linear, top-down process from leaders to people. We see the direction of communication being straight (lurus) down, the majority being caught (ditangkap/diambil) by the media and then channel led out once again (kemudian disalurkan kembali), what is now referred to as the process of mediation; however little communication was to go from the bottom of society into the political sphere.
Democratization of the majority of the political systems changed the nature of political communication and political activity moved into the public sphere. The people became involved in politics because they were expected to have a political role. Equally, with increased access to information and greater levels of education, came a demand for greater political involvement and influence.
The voter was not content (puas) with the simple act of voting, the voter became an active citizen, one who could join an anti-state cause, the fight against apartheid in South Africa for example, as easily as a recognized political party. Communication between the various groups, electoral and non-electoral, became competitive; each vying (berlomba-lomba) for space in the media and the attention of the people. Thus we find more complex models for understanding modern political communication.
Figure 2 demonstrates the lines of communication that, theoretically, are open between each group. How communication is made may vary, and how audible (dapat didengar) the message is can be dependent upon the size of any group or level of support for a party, group or cause and the tactics used to get the message across. However, in a pluralist society, at least in theory, all groups will communicate among themselves and between one another and will be both learning from and competing with one another.
The greater the number of voices competing, the more intense the competition, the better communicators groups must be in order to be heard. Thus we hear of the professionalization of political communication, that it has become better in some way in order to be heard by more groups and individuals (Mancini, 1999). Some attribute developments purely to learning from practice in the United States (US), others shy away from the Americanization thesis; however, most agree that the process by which political communication is carried out has evolved, become more technically and technologically sophisticated and adopted techniques from the worlds of corporate advertising and marketing in order to compete in the modern information-rich society.
An early and effective form of direct, or non-mediated, political communication involved public meetings; political campaigners would go out and meet the workers and deliver speeches to them. It was using these tactics that movements like Lenin’s Bolsheviks gained the support necessary to undermine (melemahkan) Russia’s tsar (kaisar), Nicholas II; equally such meetings allowed the British Labor Party to become an electoral force. Elsewhere (pada tempat/sisi yang lain), public meetings, in church halls, cinemas or back rooms of hotels, cafes and drinking houses became a key way to meet the people; the memoirs of many democratic politicians, active in the 19th  and early 20th  century, recall such events during their early careers.
The late, veteran United Kingdom (UK) Labor Member of Parliament (MP) Ian Mikardo recalls in his autobiography Backbencher a meeting in the canteen of the Miles aircraft factory at Woodley, just outside Reading, the constituency Mikardo successfully fought (berjuang) in 1945. Here he faced 6,000 workers, all worried about redundancies following the end of the Second World War.
To secure their votes, Mikardo had to allay (mengurangi) their fears while the workers tried to ‘squeeze (mengekang) all they could out of the first opportunity they’d had in ten years to put some aspiring politician through the hoop’ (Mikardo, 1988: 83). Such meetings are now few and mainly limited to countries  where technology does not allow for the message to be delivered directly to homes: the only comparable types of event are the mass rallies (perhimpunan) held around US presidential elections, or mass meetings of party members.

Technology, however, not only effected political communication in the 20th  century. The invention (penemuan) of the printing press allowed Thomas More to attack the inequality in 15th -century England. Since then, every political activist has published pamphlets and often delivered them by hand door to door or placed them in venues where the masses may be reached. While still the preserve of weakly-funded, often radical or underground movements, or those with little access to mass communication media, such activities still take place.
Every election across the democratic world will see leafleting, and many argue that such activities are of ultra importance in determining the result of elections (see particularly the research of David Denver (Denver and Hands, 1997; Denver et al., 2002; see also Johnston, 1987; Negrine and Lilleker, 2003)). But, largely, political communication has become an activity aimed at a mass audience using the mass media of television across the majority of the states in the world today. Hence direct political communication has become less of a feature in recent elections, despite research that indicates the importance of face-to-face interaction between politician and public (Jackson and Lilleker, 2004).
As communications technology allowed mass communication, communication necessarily changed. Many politicians took an instant dislike to the constraints of television: war leaders Winston Churchill and Charles de Gaulle found it hard to adapt their styles and appeared awkward (canggung/kikuk) and aloof (menyendiri) in front of the camera (Scammell, 1995). They, and many politicians of their era, had learned how to use radio effectively. In fact, during the Second World War, a secondary communication war took place with national leaders transmitting to their own people, to rally (menghimpun) support, while enemies attempted to undermine (memperlemah) their efforts by broadcasting into other states.

Consider the effect on the people of Sheffield, UK, when the Nazi-supporting broadcaster Lord Haw. Haw would ask them to look out of their windows and see if ‘the ten tall chimneys (serombongan) [of the British Steel factory] were still standing. Do you see them ablaze,’ he would mockingly (dengan nada mengejek)  ask. The US-sponsored Radio Free Europe played a similar role when broadcasting into the Soviet bloc during the cold war. Broadcasts would discuss the oppressive (menindas) nature of Soviet rule and try to encourage dissidence (penentangan). Few political communicators still use radio as the main means of dissemination, though it still offers politicians potential to reach the people.