PEMBAHASAN
1. Signifikansi Komunikasi Politik
2. Fokus Kajian Komunikasi Politik
3. Pengertian Komunikasi Politik
4. Sejarah Komunikasi Politik
5. Metode Komunikasi Politik
Kenapa Mempelajari Komunikasi Politik (Kompol)
Setiap kajian keilmuan tidak bisa mengabaikan signifkansi (arti pentng)
dari untuk apa disiplin ilmu yang bersangkutan diajarkan kepada umat manusia,
khususnya mahasiswa, karena melalui bahasan (kupasan) signifikansi dari setiap
kajian tersebut manusia (pengkaji) dapat menarik sebuah pemahaman apakah ilmu
yang bersangkutan benar-benar mempunyai signifikansi atau tidak, seperti ilmu
biologi yang mempelajari anatomi tubuh manusia dan disiplin-disiplin ilmu yang
lainnya. Demikian juga dengan komunikasi politik.
Artinya, ilmu komunikasi,
khususnya komunikasi politik signifikan (berarti) untuk dipelajari, terutama
oleh mereka-mereka yang consens (sangat peduli) dengan kajian proses
komunikasi politik agar menjadikan setiap proses politik yang
terjadi pada satu kurun tertentu dan pada sebuah Negara tertentu, benar-benar
menjadikan setiap komponen, terutama sasaran komunikasi politik (rakyat),
menjadi lebih baik, lebih bahagia dan sejahtera dalam artian yang sebenarnya.
Diantara faktor penting dan berartinya untuk mempelajari komunikasi
politik, terutama bagi mahasiswa, pengamat komunikasi dan konsultan, tersebut
adalah:
1. Faktor Sejarah
Tidak bisa dimungkiri bahwa ilmu komunikasi lahir (ada) disebabkan oleh
peran yang dimainkan oleh para pelaku politik. Lihat saja, diantara bapak
pendiri, the founding father, ilmu komunikasi terdapat tokoh
politik yang sangat terkenal, yaitu Harold D. Lasswell. Lasswell
memanfaatkan komunikasi untuk kepentingan politik guna menggerakan actor
politik secara khusus dan masyarakat secara umum agar peduli dan
berjuang untuk kepentingan bangsa dan negaranya.
Para ahli politik menggunakan komunikasi dalam
segala sisinya untuk kepentingan politik. Apakah itu ketika sedang berlangsung
perang dunia kedua, ataupun pada masa-masa damai. Ketika masa perangnya
misalnya, para pakar politik menggunakan komunikasi untuk memotivasi pasukan
(prajurit) untuk berjuang secara kesatria, pantang mundur, pandang menyerah
demi bangsa dan Negara, dan diberi symbol sebagai pahlawan (wira)
dan symbol-simbol yang menyenangkan dan menjanjikan lainnya.
2. Faktor
Kondisi Kekinian
Akhir-akhir ini, terutama pada abad komunikasi dan informasi (lebih
akrab dengan istilah ICT; Information communication and technology )
terdapat sebuah kecenderungan, khususnya yang melanda generasi muda, yang
memperlakukan komunikasi politik sebagai sebuah disiplin ilmu yang harus
dijauhi. Mereka alergi terhadap komunikasi politik, karena menurut pemahaman
mereka komunikasi politik tidak jauh berbeda dengan politik, khususnya peraktek
politik yang cenderung menghalalkan segala cara (Maciafili), politik itu kotor
dan segala terminology (istilah) yang tidak bersahabat lainnya.
Untuk itu harus dijauhi, jika tidak orang (pelaku) komunikasi
(komunikator) tidak jauh bedanya dengan para pelaku politik, politisi. Bila ini
yang terjadi, komunikasi yang pada awalnya berpihak kepada rakyat, yang terjadi
malah sebaliknya, yaitu mensengsarakan rakyat. Alih-alih memperjuangkan
aspirasi rakyat, yang terjadi justru sebaliknya mereka semakin kaya dan
berpoya-poya sedangkan rakyat semakin menderita dan sengsara.
Politik kedepan tidak lagi semata-mata ditentukan oleh posisi seseorang
pada sebuah lembaga politik, seperti ketua umum Partai, anggota Dewan
Perwakilan Rakyat/Daerah (DPR/D), dan lain sebagainya, melain juga oleh faktor,
apakah pelaku politik mempunyai sumber ekonomi yang cukup signifikan (langsung
ataupun tidak langsung) dalam proses mendapatkan dukungan dari rakyat, dipilih
menjadi anggota eksekutif, legislatif ataupun yudikatif, jika tidak mimpi hanya
akan menjadi mimpi dan tidak akan pernah menjadi sebuah kenyataan.
3. Faktor
Manfaat Praktis dan Pragmatis
Setiap kajian keilmuan, selain mengandung unsur pengembangan wawasan
keintelektualan, juga dapat digunakan untuk kepentingan praktis pargmatis, seperti
bagaimana menjadi seorang pelayan yang baik (excellence servicer) pada
kajian ilmu marketing (pemasaran) dan cara membangun hubungan yang baik
dan saling menguntungkan pada kajian Public Relations atau disebut juga
dengan Hubungan Masyarakat (Humas).
Demikian juga halnya dengan ilmu komunikasi politik, dimana ilmu ini
dapat digunakan dalam hal bagaimana cara mempengaruhi masyarakat sasaran atau
pemilih secara khusus dalam konteks untuk mendapatkan dukungan dari rakyat dan
keberlangsungan masa depan partai pada masa-masa atau proses pemilihan umum
priode berikutnya.
4. memainkan peranan vital – crucial role – terhadap apa yang dilakukan
oleh politisi.
Kompol penting agar dapat (jadi) dipilih dalam posisi yang dipercaya
oleh public. Pertama di kantor, petugas public berkomunikasi satu sama lain
tentang persoalan komunitasnya. Mereka juga berkomunikasi dengan penduduk;
mereka menghimpun kita untuk mendukung tindakan tertentu, mereka memberi info
kita tentang kegiatan pemerintah dan alasan dibalik kegiatan itu dilakukan, dan
mereka menolong kita untuk memahami kompleksitas pertanyaan dan solusi public
policy (kebijakan public). Pejabat yang dipilih kadang-kadang juga
berkomunikasi dengan cara yang tidak kentara tentang siapa mereka atau
apa yang pemerintah lakukan, tanpa menyadari bahwa mereka sedang mengirim
pesan.
Komunikasi politik memainkan peranan vital – crucial role – terhadap apa yang dilakukan
oleh politisi. Kompol penting agar dapat (jadi) dipilih dalam
posisi yang dipercaya oleh public. Pertama di kantor, petugas
public berkomunikasi satu sama lain tentang persoalan komunitasnya. Mereka juga
berkomunikasi dengan penduduk; mereka menghimpun kita untuk mendukung tindakan
tertentu, mereka memberi info kita tentang kegiatan pemerintah dan alasan
dibalik kegiatan itu dilakukan, dan mereka menolong kita untuk memahami
kompleksitas pertanyaan dan solusi public policy (kebijakan
public). Pejabat yang dipilih kadang-kadang juga berkomunikasi dengan cara yang
tidak kentara tentang siapa mereka atau apa yang pemerintah
lakukan, tanpa menyadari bahwa mereka sedang mengirim pesan.
Pada saat yang sama, public tidak hanya duduk dan
menerima pesan politik dari komunikator politik, minimal dalam masyarakat yang
demokratis. Penduduk membaca surat kabar (koran); kita menonton berita
televisi; kita mengunjungi warnet. Kita mendiskusikan berbagai isu – discussion
about many issues - dengan teman dan tetangga kita, dan kita berbagi
opini tentang public problems (masalah public) dengan orang yang
mempunyai (menempati) posisi tanggungjawab (pengambil keputusan/kebijakan) – decision
makers -. Secara berkala (priodik) kita mengekspresikan pandangan kita
pada kotak pemilihan ketika memilih seorang kandidat atau yang lain. Semua
aktivitas ini merupakan bagian vital dari komunikasi dua arah – two
communication - antara yang memerintah dengan yang diperintah – government
and society.
Apa yang dilakukan oleh yang
mengurus (manajemen) tersebut adalah komunikasi politik; apa yang kita (yang
diurus) lakukan juga komunikasi politik. Dengan mengikut sertakan diri dalam
proses ini – yang memerintah dan yang diperintah – secara langsung mengurus
komunitas di mana kita tinggal. Komunikasi politik ini vital; kehidupan politik
kita sebagai penduduk tergantung kepada komunikasi politik yang dilakukan.
Fokus Kajian Kompol
Agar tidak timbul kebingungan dalam proses memahami sebuah kajian
keilmuan, termasuk dalam hal ini kajian yang berkenaan dengan komunikasi
politik, maka para ahli berpendapat agar setiap kajian memiliki fokus
kajiannya. Hal ini sangat penting agar sebuah disiplin ilmu tidak bercampur- baur,
campur aduk dan sangat sulit membedakan antara satu kajian dengan kajian ilmu
yang lainnya. Selain itu juga untuk menghindari agar sebuah disiplin ilmu
tertentu tidak dikelompokkan atau dijadikan bagian dari ilmu yang lainnya.
Berdasarkan pemikiran di atas, yaitu kajian sebuah ilmu agar fokus pada
apa yang menjadi objek kajiannya, maka kajian komunikasi politik memfokuskan
diri dan difokuskan pada dimensi “Proses penyampaian atau pertukaran pesan
dalam konteks politik”. Artinya, kajian komunikasi politik dikonsentrasikan
atau ditujukan pada proses penyampaian atau pertukaran pesan yang terjadi pada
institusi atau lembaga yang mempunyai pengaruh – implikasi – dampak – politik.
Dengan demikian berarti bahwa kajian komunikasi politik (Kompol)
difokuskan (ditujukan) pada proses penyampaian atau pertukaran pesan yang
terjadi pada lembaga (dilakukan oleh individu ataupun lembaga, atas nama
individu mahupun lembaga) yang mempunyai pengaruh dan menentukan proses
politik, apakah itu dalam bentuk partai politik, lembaga pemerintahan, ataupun
sosial kemasyarakatan seperti yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang bergerak atau menjalankan aktivitas, kegiatan politik ataupun yang
lainnya (seperti lembaga yudikatif atau peradilan).
Fokus
atau ruang lingkup kajian Komunikasi Politik secara garis besarnya berkenaan
Dengan kajian
seputar Unsur-unsur dari Komunikasi Politik (Dan Nimo) atau Who
says what to whom, with channel with what effect
(Harold D. Lasswell, 1927) ataupun study of the mea due to its
centrality to the process of the dissemination of political views, information
and knowledge (Darren G. Lilleker, 2006)
Pengertian Komunikasi Politik
Cangara, H (2009) mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan komunikasi
politik ialah suatu bidang atau disiplin keilmuan yang bertujuan untuk menelaah
perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik, mempunyai efek politik,
atau mempengaruhi perilaku politik (contoh voter behavior)
McQuail (dalam Pawito, 2009: 2), mengatakan bahwa yang dimaksudkan
dengan komunikasi politik ialah semua proses penyampaian informasi – termasuk
fakta -, pendapat, keyakinan, dan seterusnya pertukaran dan pencarian tentang
itu semua yang dilakukan oleh para partisipan dalam konteks kegiatan politik
yang lebih bersifat melembaga
Krans dan Davis (dalam Susanto, 2009: 4) menyatakan bahwa komunikasi
politik sebagai proses komunikasi masa, termasuk KAP dan elemen-elemen di
dalamnya, yang mungkin mempunyai dampak terhadap perilaku politik
Brian McNair berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan komunikasi
politik ialah aktivitas komunikasi tentang politik yang sarat tujuan. Aktivitas
yang dimaksud tidak hanya berbentuk komunikasi lisandan tulisan, tetapi juga
melibatkan simbol-simbol non verbal, seperti pakaian, rias wajah, gaya rambut,
desain logo, dsbnya.
Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang
selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed
in the political system, political socialization and recruitment, interest
articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule
adjudication, are performed by means of communication.”
Political
communication refers to any exchange of symbols or messages that to a
significant extent have been shaped by or have consequences for the political
system
(Meadow, 1980).
komunikasi
politik merupakan salah satu dari fungsi partai politik, yakni menyalurkan
aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa
–“penggabungan kepentingan” (“interest aggregation”) dan
“perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk
diperjuangkan menjadi public policy. (Miriam Budiardjo).
Sejarah dan Metode Komunikasi Politik
Political communication is as old as political activity; it was a feature of ancient (kuno) Greece and the Roman Empire as
well as across diverse political systems in the modern age.
It is
hard to think of a time, under any political system, where political leaders
have not had arequirement (keperluan) to communicate with other groups in
society, or have not had to persuade the people to support them, often as
opposed to rivals for their power and position.
However, for much of human history political communication would
have been a linear, top-down process from leaders to people. We
see the direction of communication being straight (lurus) down,
the majority being caught (ditangkap/diambil) by the media and then channel
led out once again (kemudian disalurkan kembali), what is now referred
to as the process of mediation; however little
communication was to go from the bottom of society into the political
sphere.
Democratization of the majority of the
political systems changed the nature of political communication and political
activity moved into the public sphere. The people became
involved in politics because they were expected to have a political role.
Equally, with increased access to information and greater levels of
education, came a demand for greater political involvement and influence.
The voter was not content (puas) with the simple act of voting, the
voter became an active citizen, one who could join an anti-state
cause, the fight against apartheid in South Africa for example, as
easily as a recognized political party. Communication between the various
groups, electoral and non-electoral, became competitive; each vying
(berlomba-lomba) for space in the media and the attention of the people. Thus
we find more complex models for understanding modern political
communication.
Figure 2 demonstrates the lines of communication that, theoretically,
are open between each group. How communication is made may vary, and how
audible (dapat didengar) the message is can be dependent upon the size of any
group or level of support for a party, group or cause and the tactics used to
get the message across. However, in a pluralist society, at least
in theory, all groups will communicate among themselves and
between one another and will be both learning from and competing
with one another.
The greater the number of voices competing, the more intense the
competition, the better communicators groups must be in order to be heard. Thus
we hear of the professionalization of political communication, that it has
become better in some way in order to be heard by more groups and individuals
(Mancini, 1999). Some attribute developments purely to learning from practice
in the United States (US), others shy away from the Americanization thesis;
however, most agree that the process by which political communication is
carried out has evolved, become more technically and technologically
sophisticated and adopted techniques from the worlds of corporate advertising
and marketing in order to compete in the modern information-rich
society.
An early and effective form of direct, or non-mediated,
political communication involved public meetings; political
campaigners would go out and meet the workers and deliver speeches to them. It
was using these tactics that movements like Lenin’s Bolsheviks gained the
support necessary to undermine (melemahkan) Russia’s tsar (kaisar), Nicholas
II; equally such meetings allowed the British Labor Party to become an electoral
force. Elsewhere (pada tempat/sisi yang lain), public meetings, in church
halls, cinemas or back rooms of hotels, cafes and drinking houses became a key
way to meet the people; the memoirs of many democratic
politicians, active in the 19th and early 20th century, recall such events during their
early careers.
The late, veteran United Kingdom (UK) Labor Member of Parliament (MP)
Ian Mikardo recalls in his autobiography Backbencher a meeting in the
canteen of the Miles aircraft factory at Woodley, just outside Reading, the
constituency Mikardo successfully fought (berjuang) in 1945. Here he faced
6,000 workers, all worried about redundancies following the end of the Second
World War.
To secure their votes, Mikardo had to allay (mengurangi) their fears
while the workers tried to ‘squeeze (mengekang) all they could out of the first
opportunity they’d had in ten years to put some aspiring politician through the
hoop’ (Mikardo, 1988: 83). Such meetings are now few and mainly limited to
countries where technology does not
allow for the message to be delivered directly to homes: the only comparable
types of event are the mass rallies (perhimpunan) held around US presidential
elections, or mass meetings of party members.
Technology, however, not only effected political communication
in the 20th century. The
invention (penemuan) of the printing press allowed Thomas More to attack the
inequality in 15th -century England. Since then, every political
activist has published pamphlets and often delivered them by hand
door to door or placed them in venues where the masses may be reached.
While still the preserve of weakly-funded, often radical or underground
movements, or those with little access to mass communication media, such
activities still take place.
Every
election across the democratic world will see leafleting, and many argue that
such activities are of ultra importance in determining the result of elections
(see particularly the research of David Denver (Denver and Hands, 1997; Denver
et al., 2002; see also Johnston, 1987; Negrine and Lilleker, 2003)). But,
largely, political communication has become an activity aimed at a mass
audience using the mass media of television across the majority of the states
in the world today. Hence direct political communication has become
less of a feature in recent elections, despite research that indicates the
importance of face-to-face interaction between politician and
public (Jackson and Lilleker, 2004).
As communications technology allowed
mass communication, communication necessarily changed. Many politicians took an
instant dislike to the constraints of television: war leaders Winston
Churchill and Charles de Gaulle found it hard to adapt their styles
and appeared awkward (canggung/kikuk) and aloof (menyendiri) in front of the
camera (Scammell, 1995). They, and many politicians of their era, had learned
how to use radio effectively. In fact, during the Second World War, a secondary
communication war took place with national leaders transmitting to their own
people, to rally (menghimpun) support, while enemies attempted to undermine
(memperlemah) their efforts by broadcasting into other states.
Consider
the effect on the people of Sheffield, UK, when the Nazi-supporting broadcaster
Lord Haw. Haw would ask them to look out of their windows and see if
‘the ten tall chimneys (serombongan) [of the British Steel factory] were still
standing. Do you see them ablaze,’ he would mockingly (dengan nada
mengejek) ask. The US-sponsored Radio
Free Europe played a similar role when broadcasting into the Soviet bloc during
the cold war. Broadcasts would discuss the oppressive (menindas) nature of
Soviet rule and try to encourage dissidence (penentangan). Few political
communicators still use radio as the main means of dissemination, though it
still offers politicians potential to reach the people.